PEKANBARU - Sebagai komoditas strategis, peranan energi baru dan energi terbarukan sangat penting bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi dan ketahanan energi nasional di tengah ancaman krisis energi fosil. Oleh karena itu, diperlukan penyusunan regulasi kebijakan dari pemerintah dan DPR RI untuk pengelolaan sumberdaya energi baru dan energi terbarukan. Saat ini RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2022. Di mana DPR RI menargetkan RUU tersebut akan disahkan sebelum pelaksanaan KTT G20 pada Nopember 2022 mendatang di Bali.
Demikian disampaikan Anggota Ombudsman RI, Hery Susanto dalam Seminar Nasional yang digelar DPP Gerakan Muda Pembaharuan Melayu Riau (GMPMR), Kamis (16/6/2022) di Kota Pekanbaru, Riau.
Lebih lanjut Hery mengatakan, mengatasi krisis energi fosil maupun solusi energi baru dan energi terbarukan dari hulu ke hilir tidak bisa terpisahkan antara penyelenggara pelayanan publik yakni pemerintah/pemerintah daerah, kementerian/lembaga negara, PT Pertamina, BPH Migas dan SKK Migas dengan DPR RI, Ombudsman dan publik.
"Harus ada kolaborasi satu sama lain dalam penyusunan regulasinya. Termasuk kalau ada laporan pengaduan masyarakat ke Ombudsman, penyelenggara pelayanan publik harus terus berkoordinasi dan bekerjasama guna pelayanan publik yang lebih baik, " kata Hery Susanto.
Baca juga:
Alokasi Kompensasi Energi Untuk Siapa?
|
Menurut Hery Susanto, pemerintah juga harus melakukan langkah strategis dengan diversifikasi sumberdaya energi untuk menjaga ketersediaan energi bagi pelayanan publik.
"Saat ini sering kejadian antrean panjang BBM di masyarakat, kekhawatiran kelangkaan BBM. Kuota BBM yang terbatas di banyak daerah jika tidak ditangani dengan baik bisa mengganggu pelayanan publik di sektor energi, " katanya.
Tuntutan dunia internasional atas pentingnya penggunaan energi rendah emisi dan ramah lingkungan, mendorong terjadinya produksi BBM yang berkelas tinggi dan mahal yang secara keekonomian harganya tidak terjangkau oleh masyarakat. Subsidi BBM pun menjadi alternatif bagi pemerintah jika ingin menekan harga BBM yang rendah emisi dan ramah lingkungan tersebut. Hal itu tentu sangat membebani APBN.
"Alternatif lainnya pemerintah didorong untuk mencari sumber-sumber energi baru, dibanding alami ketergantungan terhadap sumber-sumber energi yang sudah existing yang terancam krisis. Belum lagi jika membangun kilang Migas baru yang berbiaya sangat besar hingga capai lebih dari ratusan triliun, " kata Hery Susanto.
Baca juga:
BBM Langka, BPH Migas Harus Bertindak
|
Seminar Nasional yang mengambil tema "Pengelolaan Sumber Daya Energi Baru Terbarukan Di Tengah Ancaman Krisis Energi Fosil" tersebut dipandu oleh akademisi Amirhan, S.H., M.H, dan dihadiri Kepala Bidang Energi Baru dan Terbarukan (EBT) Dinas ESDM Provinsi Riau, Badrullah Fahmi. Selain itu, hadir juga perwakilan LSM, media, pemerhati lingkungan, mahasiswa dan elemen-elemen masyarakat lainnya.
Narasumber lain yang hadir adalah Divisi Communication Relations & CSR PT. Pertamina Patra Niaga Regional Sumatera Bagian Utara (Sumbagut), Agustiawan, Kepala Keasistenan Pencegahan Maladministrasi Perwakilan Ombudsman Provinsi Riau, Bambang Pratama, S.H, serta Akademisi Politeknik Kampar Harisman. (***)